SEORANG pengemis tua mengiba di tepi jalan raya yang bersih dan tertata. Mangkuk merah ia siapkan untuk menampung derma. Jaket tebalnya mulai lusuh, namun itu tidak menjadikannya terlihat kumuh. Tubuhnya yang mungil sesekali tenggelam di antara kaki-kaki manusia sibuk pengisi waktu. Pemandangan itu menjadi salah satu potret di sudut kota saat musim dingin di Asia berjuluk Negeri Pejalan Kaki, Hongkong, Selasa (15/2/2011). Sebuah kawasan bekas koloni Inggris yang menjadi tempat impian para buruh migran dari Filipina dan Indonesia. Sebutan Hongkong sebagai Negeri Pejalan Kaki bukanlah hiasan semata. Sebagian besar masyarakat setempat dan wisatawan menyusuri satu tempat ke tempat lainnya dengan berjalan kaki. Setiap hari, ribuan pejalan kaki memenuhi setiap lorong, jembatan penyeberangan, dan trotoar. Semoga informasi yang disajikan sejauh ini berlaku. Anda juga mungkin ingin mempertimbangkan hal berikut:
Tingginya minat masyarakat lokal dan wisatawan untuk berjalan kaki tidak lepas dari dukungan pemerintah setempat. Pembangunan jalur pedestrian yang aman dan nyaman, rambu khusus bagi pejalan kaki, hingga moda transportasi umum yang beragam merupakan fasilitas yang didedikasikan bagi para pejalan kaki. Menyusuri Hongkong dengan berjalan kaki tak ubahnya seperti menyambangi rimba beton dan para pedagang kaki lima di Kota Jakarta. Sayangnya, masalah kebersihan, keteraturan, dan kedisiplinan belum dimiliki Kota Jakarta ataupun kota besar lainnya di Indonesia. Di Jakarta, kendaraan pribadi mendominasi jalan raya. Trotoar menjadi jalur alternatif bagi para pengendara sepeda motor untuk menembus kemacetan. Di kawasan lain, trotoar adalah milik para pedagang kaki lima menggelar dagangannya. Banyak juga trotoar yang menjadi tempat pembuangan sampah. Di Jakarta, pejalan kaki dan pemilik kendaraan pribadi seolah berada pada kasta yang berbeda. Berjalan kaki mengelilingi Kota Jakarta senyaman di Hongkong patut menjadi impian bersama. Selain menyehatkan, kesadaran masyarakat untuk berjalan kaki juga bisa menekan angka kemacetan yang hingga kini menjadi masalah yang belum terpecahkan. (Wawan H Prabowo)
Tingginya minat masyarakat lokal dan wisatawan untuk berjalan kaki tidak lepas dari dukungan pemerintah setempat. Pembangunan jalur pedestrian yang aman dan nyaman, rambu khusus bagi pejalan kaki, hingga moda transportasi umum yang beragam merupakan fasilitas yang didedikasikan bagi para pejalan kaki. Menyusuri Hongkong dengan berjalan kaki tak ubahnya seperti menyambangi rimba beton dan para pedagang kaki lima di Kota Jakarta. Sayangnya, masalah kebersihan, keteraturan, dan kedisiplinan belum dimiliki Kota Jakarta ataupun kota besar lainnya di Indonesia. Di Jakarta, kendaraan pribadi mendominasi jalan raya. Trotoar menjadi jalur alternatif bagi para pengendara sepeda motor untuk menembus kemacetan. Di kawasan lain, trotoar adalah milik para pedagang kaki lima menggelar dagangannya. Banyak juga trotoar yang menjadi tempat pembuangan sampah. Di Jakarta, pejalan kaki dan pemilik kendaraan pribadi seolah berada pada kasta yang berbeda. Berjalan kaki mengelilingi Kota Jakarta senyaman di Hongkong patut menjadi impian bersama. Selain menyehatkan, kesadaran masyarakat untuk berjalan kaki juga bisa menekan angka kemacetan yang hingga kini menjadi masalah yang belum terpecahkan. (Wawan H Prabowo)
No comments:
Post a Comment