JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas, menegaskan poin hukuman mati dalam RUU Tipikor perlu dipertahankan. Hal ini karena menyangkut bahaya tindak pidana korupsi apalagi ketika sudah membudaya di tengah kehidupan masyarakat. "Hukuman mati perlu dipertahankan, tidak perlu merespon budaya luar dan negara-negara barat. Bahkan, di Amerika sendiri saat ini masih merespon mengenai hukuman mati bagi koruptor," ujar Busyro usai mengisi seminar bertajuk "Penguatan dan Pembangunan Kapasitas Kelembagaan DPR RI," di Jakarta, Senin (4/4/2011). Sejujurnya, satu-satunya perbedaan antara Anda dan para ahli Harga Jual Blackberry iPhone Laptop Murah adalah waktu. Jika Anda akan menginvestasikan waktu sedikit lebih dalam membaca, Anda akan yang lebih dekat ke status ahli ketika datang ke Harga Jual Blackberry iPhone Laptop Murah.
Busyro menuturkan, penerapan hukuman mati memiliki landasan filosofi, argumen sosiologis dan kultural tersendiri. Menurutnya, ketika korupsi di Indonesia ini sudah mengkristal, maka budaya tersebut dapat menjadi momok yang membahayakan bagi kelangsungan hidup bernegara. "Sangat berbahaya jika budaya tersebut sudah mengkristal di Indonesia. Oleh karena itu, hukuman mati dari aspek budaya sangat lebih efektif," katanya. Selain itu, lanjutnya, perlu pendekatan yang lebih integral dalam menyikapi RUU tersebut, misalnya menghilangkan undang-undang gradasi untuk koruptor. Ia juga menyarankan, jika disetujui publik, maka ada baiknya para koruptor diberi sanksi sosial. Misalnya dengan melakukan kerja bakti sosial memakai seragam korupsi di jalan-jalan selama seminggu, sehingga keluarga mereka melihat. "Kalau istri mereka melihat, anak, besan, menantu, dan cucu yang mereka sayangi melihat, efektif nggak? Saya yakin itu efektif. Tidak ada koruptor yang berbahagia jika rumah tangganya rusak akibat korupsi," ujarnya.
Busyro menuturkan, penerapan hukuman mati memiliki landasan filosofi, argumen sosiologis dan kultural tersendiri. Menurutnya, ketika korupsi di Indonesia ini sudah mengkristal, maka budaya tersebut dapat menjadi momok yang membahayakan bagi kelangsungan hidup bernegara. "Sangat berbahaya jika budaya tersebut sudah mengkristal di Indonesia. Oleh karena itu, hukuman mati dari aspek budaya sangat lebih efektif," katanya. Selain itu, lanjutnya, perlu pendekatan yang lebih integral dalam menyikapi RUU tersebut, misalnya menghilangkan undang-undang gradasi untuk koruptor. Ia juga menyarankan, jika disetujui publik, maka ada baiknya para koruptor diberi sanksi sosial. Misalnya dengan melakukan kerja bakti sosial memakai seragam korupsi di jalan-jalan selama seminggu, sehingga keluarga mereka melihat. "Kalau istri mereka melihat, anak, besan, menantu, dan cucu yang mereka sayangi melihat, efektif nggak? Saya yakin itu efektif. Tidak ada koruptor yang berbahagia jika rumah tangganya rusak akibat korupsi," ujarnya.
No comments:
Post a Comment