Novel Handoko Adinugroho Aku lantas ingat pesan paman beberapa hari sebelum aku diboyong suamiku pulang ke Indonesia. Saat itu, siang hari. Sejak menikah dengan Muslihin, aku memang tak lagi ikut membantu di kedai paman. Bukan aku yang meminta, bukan pula suamiku. Paman yang menyuruhku untuk setiap saat mengabdi pada suami. Bukan lantaran paman tak mau lagi mempekerjakanku, namun beliau menginginkan aku untuk menjadi perempuan shalihah, yang setiap tarikan nafasnya hanya untuk mengabdi kepada seorang suami. Abidah, sesampaimu di negeri sendiri, baik-baiklah membawa diri. Jangan mudah terpedaya. Banyak fitnah yang akan kaujumpai. Kau tak perlu terpengaruh. Anggaplah fitnah itu sebagai jalan bagimu untuk menjadi manusia yang lebih baik di mata Allah. Maksud Paman, fitnah semacam apa? Tak perlu kujelaskan. Kelak kau akan tahu sendiri. Satu hal yang harus kauingat, suamimu lelaki yang baik. Suamimu lelaki yang shalih. Dialah imammu. Dialah pembimbingmu. Dialah yang akan membawamu dan insya Allah anakmu kelak ke sorga. Berbaktilah dan mengabdilah kepadanya. Taatilah semua perintahnya. Lakukanlah segala keinginannya. Lebih dari itu, percayalah selalu kepadanya. Jangan pernah kau sangsikan. Aku mengangguk. Aku mengerti. Jika Anda menemukan diri Anda bingung dengan apa yang Anda sudah membaca hingga saat ini, jangan putus asa. Semuanya harus jelas pada saat Anda selesai.
Aku bisa menerima pesan paman dan menurutinya. Awalnya, aku memang belum bisa memahami sepenuhnya makna pesan yang disampaikan paman. Namun lambat laun, aku bisa mengerti. Aku mulai merasakan, ketimpangan perlakuan semacam apa yang kuterima. Pertama, tentang penampilanku. Kehadiranku yang selalu mengenakan burka dianggap sangat aneh. Ternyata, hal itu pun bisa menimbulkan fitnah. Kedua, kebiasaanku yang tak suka berkasak-kusuk, ternyata justru dianggap salah. Aku dianggap tak bisa membawa diri di lingkungan baru. Aku dianggap tak mau bermasyarakat.Itu pun menciptakan fitnah lagi. Kini, aku semakin bisa memahami pesan paman. Ketika suamiku kejatuhan fitnah. Aku tetap menganggap tuduhan itu sebagai fitnah lantaran tak ada bukti yang bisa dijadikan landasannya. Tuduhan itu hanya didasarkan pada kesaksian seseorang, penuturan seseorang. Bisa jadi, penuturan orang itu benar. Namun tidak mustahil pula salah. Jika orang yang menuturkannya memang telah menaruh dendam kepada suamiku atau tidak menyukai suamiku, bukankah ia bisa dengan mudah mengedarkan fitnah? Sesuai pesan paman, aku harus lebih percaya kepada suamiku. Bagaimanapun, ia adalah imamku. Ia adalah guruku. Jika memang bersalah, biarlah Allah yang menilainya. Manusia tak berhak melaknatnya.
Aku bisa menerima pesan paman dan menurutinya. Awalnya, aku memang belum bisa memahami sepenuhnya makna pesan yang disampaikan paman. Namun lambat laun, aku bisa mengerti. Aku mulai merasakan, ketimpangan perlakuan semacam apa yang kuterima. Pertama, tentang penampilanku. Kehadiranku yang selalu mengenakan burka dianggap sangat aneh. Ternyata, hal itu pun bisa menimbulkan fitnah. Kedua, kebiasaanku yang tak suka berkasak-kusuk, ternyata justru dianggap salah. Aku dianggap tak bisa membawa diri di lingkungan baru. Aku dianggap tak mau bermasyarakat.Itu pun menciptakan fitnah lagi. Kini, aku semakin bisa memahami pesan paman. Ketika suamiku kejatuhan fitnah. Aku tetap menganggap tuduhan itu sebagai fitnah lantaran tak ada bukti yang bisa dijadikan landasannya. Tuduhan itu hanya didasarkan pada kesaksian seseorang, penuturan seseorang. Bisa jadi, penuturan orang itu benar. Namun tidak mustahil pula salah. Jika orang yang menuturkannya memang telah menaruh dendam kepada suamiku atau tidak menyukai suamiku, bukankah ia bisa dengan mudah mengedarkan fitnah? Sesuai pesan paman, aku harus lebih percaya kepada suamiku. Bagaimanapun, ia adalah imamku. Ia adalah guruku. Jika memang bersalah, biarlah Allah yang menilainya. Manusia tak berhak melaknatnya.
.
No comments:
Post a Comment